Cari Blog Ini

Rabu, 15 Juli 2009

Masyarakat sudah dewasa atau justru tidak peduli (kritis) ?

Oleh : Irfan Karunia Osa *
Keadaan panas yang sebelumnya terjadi saat kampanye pun mereda secara perlahan setelah berlangsungnya pilpres. Kondisi tersebut tentunya cukup unik mengingat setelah pelaksanaan pilpres banyak laporan dan statement dari pasangan capres-cawapres tentang “segudang” pelanggaran pemilu yang merugikan pasangan tertentu dan berpotensi menimbulkan konflik diantara masyarakat pendukung masing-masing capres. Keadaan masyarakat yang tenang dan “adem-ayem” itu pun sebetulnya menimbulkan dua indikasi.
Indikasi pertama adalah masyarakat ternyata sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi khususnya menyikapi pelaksanaan pilpres yang diduga mengalami banyak pelanggaran. Jika indikasi itu benar maka masyarakat saat ini memang sudah tidak mudah lagi terpancing oleh isu-isu politik. Isu tersebut dalam hal ini menyangkut banyaknya laporan pelanggaran pemilu yang dianggap menguntungkan salah satu capres dan merugikan capres lainnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik diantara para pendukung capres seperti yang terjadi di beberapa pilkada di daerah. Tentunya jika memang indikasi pertama ini terjadi hal tersebut patut disyukuri karena bangsa Indonesia dapat semakin dewasa dalam berdemokrasi.
Sedangkan indikasi kedua justru berbanding terbalik dengan yang pertama yaitu masyarakat justru tidak peduli dengan pelaksanaan pilpres sehingga terkesan tidak kritis dengan berbagai pelanggaran pilpres yang dilaporkan oleh capres yang merasa dirugikan. Indikasi tersebut terlihat dari jarangnya pembicaraan di masyarakat terkait masalah adanya pelanggaran pemilu. Kebanyakan dari masyarakat justru merasa sudah memiliki presiden baru dan tidak peduli dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi, padahal hasil yang ada saat ini baru hasil hitung cepat dan tentu tidak akan menjadi hasil nyata apabila ternyata banyak kecurangan di sana sini. Kondisi ini tentunya juga kurang baik bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia karena dalam kehidupan demokrasi semua elemen bangsa harus aktif dalam menyikapi dinamika kehidupan bangsa, tentunya dengan cara yang positif.
Dari kedua indikasi tersebut, tentunya kita mengharapkan indikasi pertama yang saat ini terjadi di masyarakat yaitu sudah terwujudnya kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi khususnya pada saat pilpres. Tentunya kedewasaan masyarakat harus diikuti dengan sikap kritis dari masyarakat agar pelaksanaan demokrasi (pilpres) tidak menjadi milik segelintir elit dan nantinya dengan sikap kritis tersebut rakyat dapat sejahtera dengan demokrasi (pilpres).
*Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEM IPB, Wakil Ketua BEM FEM IPB

Kamis, 26 Maret 2009

Proteksi yang mengatasnamakan Nasionalisme

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB

Wakil Ketua BEM FEM IPB

Dalam menyikapi krisis perekonomian global yang terjadi dewasa ini, setiap langkah kebijakan ekonomi dari pemerintah Negara maju ataupun berkembang selalu menjadi sorotan dunia. Belakangan, yang lumayan populer adalah kebijakan proteksionisme yang dilakukan baik oleh Negara maju ataupun Negara berkembang. Misalnya Amerika Serikat yang secara terang-terangan menyerukan “Buy American” yang merupakan bentuk proteksi Amerika terhadap produk-produk dalam negeri Negara tersebut.

Tentu saja kebijakan negara maju seperti Amerika akan mengundang perlawanan dari negara lain seperti dari negara-negara berkembang. Hal itulah sebenarnya yang harus dihindari. Apabila semua negara saling balas membalas dalam melakukan kebijakan proteksi maka krisis global pun lambat laun dapat berubah menjadi krisis multi dimensi.

Artinya setiap negara sebenarnya harus menghindari proteksi untuk memperlancar kembali arus perdagangan dunia. Namun, Indonesia sebagai negara berkembang pun tidak dapat hanya tinggal diam menyikapai proteksionisme yang dilakukan oleh negara-negara lain. Indonesia harus melakukan kebijakan penyeimbang dalam menyikapi proteksionisme negara lain.

Proteksi yang dilakukan pun sebaiknya adalah proteksi yang bersifat halus. Maka itu, pemerintah pun mengeluarkan inpres tentang adanya kewajiban bagi PNS untuk mengenakan sepatu produksi dalam negeri dan produk dalam negeri lainnya. Proteksi tersebut pun agar terlihat lebih halus kembali dibalut dengan adanya gerakan ”Aku Cinta Produk Indonesia” yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan “Buy American”ala Obama.

Proteksi yang mengatasnamakan nasionalisme tersebut adalah hal yang sangat tepat dilakukan pemerintah bahkan seharusnya dilakukan sejak dulu. Dengan hal tersebut produk dalam negeri akan dapat berkembang dengan baik. Namun, kedepannya gerakan semacam ”Aku Cinta Produk Indonesia” sebaiknya tidak hanya dilakukan sebatas kewajiban bagi PNS namun dapat menjadi kesadaran bagi seluruh elemen masyarakat untuk dapat mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Dengan begitu akan terjadi trickle down effect yang positif bagi perekonomian Indonesia khususnya UKM.

Moralitas yang Rendah Cermin Budaya Kekerasan

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi

Institut Pertanian Bogor

Beberapa saat terakhir banyak bermunculan di media massa, berita-berita tentang kekerasan yang mendera masyarakat bangsa ini. Mulai dari berita tentang kerusuhan yang menyebabkan kematian seorang ketua DPRD, kekerasan dalam dunia pendidikan, kekerasan dalam dunia militer, bahkan hingga kekerasan yang dilakukan oleh artis sinetron. Berita-berita tersebut tentunya menjadi sangat fenomenal karena terjadi dalam waktu yang beriringan. Proses kejadian kekerasan yang terus muncul beriringan tersebut menyiratkan bahwa seakan-akan kekerasan saat ini sudah menjadi budaya yang lazim untuk menyikapi atau menyelesaikan suatu permasalahan.

Tentunya sangat mengkhawatirkan jika pernyataan di atas menjadi kenyataan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang bodoh apabila menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar, terlebih lagi apabila kekerasan tersebut sudah membudaya dan mengakar di masyarakat. Maka itu harus dicarikan solusi yang tepat untuk menangani masalah kekerasan tersebut. Ada pepatah yang menyebutkan bahwa “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Hal ini pun berlaku bagi kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, dimana langkah yang paling tepat adalah mencegah terjadinya kekerasan tersebut selain menghukum pelakunya dengan hukuman yang setimpal agar menjadi pelajaran positif bagi masyarakat.

Untuk mencegahnya, kita perlu merunut masalah kekerasan ini satu persatu ke belakang untuk mengetahui penyebab mengapa kekerasan akhir-akhir ini sangat marak terjadi di masyarakat. Contoh kasus yang akan kita ambil adalah kasus kerusuhan yang menyebabkan kematian ketua DPRD di Sumatera Utara. Pada dasarnya kekerasan tergolong ke dalam dua bentuk yaitu kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak. Kasus kerusuhan di Sumatera Utara ini termasuk yang kekerasan yang terkoordinir. Indikasi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, dimana kekerasan terjadi dengan sebuah perencanaan yang sangat matang. Hal ini menyiratkan bahwa kekerasan merupakan hal yang dibenarkan oleh pelakunya, karena merupakan sesuatu yang direncanakan.

Penyebab utama dari kasus tersebut dan kasus lainnya adalah semakin rendahnya moralitas masyarakat dan ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola Emotional Spiritual Question dalam diri mereka. Akibatnya, masyarakat akan semakin mudah menggunakan kekerasan atau menghalalkan segala cara untuk penyelesaian masalah mereka tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Kemudian, penyebab dari rendahnya moralitas masyarakat tersebut adalah dunia pendidikan yang saat ini tidak menitikberatkan moralitas sebagai poin utama pendidikan. Sebenarnya ini adalah “dosa pendidikan Indonesia”, dimana pelajar hanya dididik untuk mengejar nilai seratus untuk matematika, IPA, IPS dan lain-lain sehingga yang terjadi adalah kasus perkelahian para siswa yang terjadi dimana-mana. Solusi umum yang harus dihadirkan dari penyebab di atas adalah peningkatan moralitas masyarakat sejak dini dalam lingkungan kemasyarakatan mauppun dunia pendidikan, sehingga dalam bertindak masyarakat dapat berpikir dengan jernih apa yang harus dilakukan untuk menyikapi suatu masalah dan jauh dari budaya kekerasan.


Kontrak Politik agar Tidak Hanya Janji

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB, Wakil Ketua Bem FEM IPB

Beberapa minggu kedepan jalan-jalan di berbagai penjuru nusantara akan ramai dengan konvoi serta berbagai jenis kampanye partai politik peserta pemilu 2009. Bendera dan baliho yang sebelumnya sudah cukup ramai menghiasi jalan-jalan dipastikan akan bertambah dengan subur. Berbagai janji manis tentunya menghiasi jalannya kampanye para calon wakil rakyat.

Yang perlu diperhatikan adalah cara-cara merayu dengan janji surga tanpa bukti tersebut selalu berhasil di setiap pemilu. Masyarakat seharusnya sadar bahwa apa yang dijanjikan para calon wakil rakyat pada pemilu terdahulu banyak yang belum tercapai hingga kini atau bahkan hanya menjadi omong kosong belaka. Tentunya akan lebih parah jika masyarakat tetap memilih calon wakil rakyat yang hanya mengulangi omong kosongnya. Kita tidak bisa membiarkan bangsa ini diwakili oleh orang-orang yang hanya pandai mengumbar janji. Kebodohan sewaktu kita memilih wakil rakyat yang hanya mengumbar janji tersebut tidak boleh terjadi di tahun ini.

Ironis memang jika kita melihat fakta bahwa selama empat setengah tahun kebelakang begitu sulitnya rakyat menemui anggota dewan hanya untuk sekedar menagih janjinya ketika kampanye pada pemilu terdahulu. Pertanyaannya adalah mengapa janji manis para calon wakil rakyat tersebut pada akhirnya tidak dapat ditagih oleh rakyat setelah mereka duduk di kursi “empuk” anggota dewan. Jawabannya adalah karena tidak adanya kontrak politik yang jelas antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri.

Kontrak politik perlu dibuat untuk mengikat janji para caleg agar nantinya dapat ditagih sewaktu-waktu oleh rakyat ketika sudah duduk di kursi dewan. Hal itu diperlukan karena selama ini para wakil rakyat yang sudah terpilih tidak lagi mempunyai ikatan untuk memenuhi janjinya kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat pun juga tidak mempunyai kekuatan untuk menuntut janji para wakil rakyat yang telah mereka pilih tersebut.

Mahasiswa sebagai agent of change yang mengatasnamakan rakyat dalam pergerakannya seharusnya bisa menginisiasi hal tersebut. Dalam pergerakannya, mahasiswa dengan idealismenya dapat mengajukan kontrak politik kepada calon wakil rakyat dengan poin-poin yang intinya bertujuan untuk membangun bangsa dan membuat rakyat lebih sejahtera. Hal tersebut wajib dilakukan untuk mencegah kampanye-kampanye yang membodohi rakyat. Dengan adanya kontrak politik, para anggota dewan yang terpilih akan terikat hanya bekerja untuk rakyat dan yang lebih hebat lagi rakyat dapat menuntut para anggota dewan terpilih jika janji waktu kampanye saat ini tidak terpenuhi. Dengan begitu masyarakat akan dapat memilih dengan tenang dan tidak akan takut dibodohi oleh para calon wakil rakyat.

Selasa, 24 Februari 2009

Dari Fenomena Ponari sampai Polemik Puyer

Dimuat di harian Seputar Indonesia

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi

Institut Pertanian Bogor

Akhir-akhir ini banyak terjadi fenomena unik dan membingungkan yang terjadi di masyarakat dan berkaitan dengan dunia kesehatan. Dimulai oleh munculnya seorang dukun cilik bernama Ponari. Hal yang diluar logika dan menjadi fenomena adalah cara pengobatan menggunakan batu yang dicelupkan kedalam air untuk kemudian diminum oleh pasien.

Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah ribuan warga dari berbagai daerah datang ke rumah Ponari hanya untuk meminta air yang dicelupkan batu tersebut. Satu fakta yang mengenaskan adalah tewasnya beberapa warga akibat berdesak-desakan saat mengantri untuk berobat kepada Ponari. Hal ini sebenarnya adalah bentuk dari pelampiasan ketidakpuasan masyarakat miskin akan haknya dalam mendapatkan pengobatan yang layak dari pemerintah sehingga berpindah kepada pengobatan alternatif yang murah serta tidak jelas keamanannya.

Belum selesai fenomena Ponari datang polemik tentang puyer. Ternyata proses pembuatan puyer melewati proses yang tidak higienis dan berbahaya apalagi bagi anak-anak. Polemik puyer ini pun merupakan bentuk dari kelalaian pemerintah dalam mengadakan layanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.

Pemerintah seharusnya menjalankan amanah UUD 1945 Pasal 28 H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3 yang berbunyi negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Aplikasi dari tanggung jawab tersebut adalah pemerintah wajib untuk menyediakan fasilitas pengobatan seperti rumah sakit, tenaga perawat, dokter sampai obat-obatan bagi masyarakat dan tak terkecuali masyarakat miskin. Bahkan akan lebih baik apabila semua fasilitas tersebut dapat digratiskan, khususnya untuk orang miskin.

Tentunya diharapkan tidak akan muncul fenomena seperti Dukun Ponari lagi, jika masyarakat miskin dapat mengakses layanan kesehatan dengan bebas. Kemudian, pemerintah pun wajib melakukan pengawasan terhadap proses pengobatan seperti mengawasi tindakan malpraktik sampai proses pembuatan obat-obatan. Sehingga tidak akan terjadi polemik lain seperti polemik puyer dan kemudian akan tercipta layanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.

Jumat, 13 Februari 2009

Dicari : Seorang Negarawan

Oleh : Irfan Karunia Osa, WAKIL KETUA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Demokrasi adalah suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau kekuasaan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah. Kata-kata yang paling penting dalam definisi demokrasi diatas adalah adanya kedaulatan rakyat atau kekuasaan rakyat. Namun, saat ini kata-kata tersebut rupanya sudah tidak lagi menjadi hal yang paling penting bagi demokrasi. Kata Demokrasi oleh banyak orang diaplikasikan dalam bentuk kebebasan untuk berebut kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. Jadi, saat ini rakyat hanya slogan untuk mendompleng suara bukan lagi menjadi prioritas utama untuk didengar suaranya.

Hal tersebut terjadi dalam situasi akhir-akhir ini. Banyak sekali partai yang muncul ke permukaan. Banyak partai yang mengaku dapat mengakomodir kepentingan rakyat. Ada partai yang mengklaim berhasil menurunkan harga minyak, ada partai yang mengklaim bahwa ekspor beras yang belum pasti akan terlaksana (karena siapa yang tahu bahwa nanti akan ada bencana yang besar sehingga sawah-sawah kita rusak dan pasokan beras menjadi kurang), ada yang bangga dengan sumbangan yang telah disalurkannya ke Palestina, ada juga yang yakin bahwa jika partai tersebut menang harga sembako akan turun (padahal waktu pemerintahan dipegang oleh partai tersebut harga sembako juga turun naik), dan masih banyak lagi contoh yang bias diambil namun saking banyaknya partai tidak semuanya dapat ditulis disini.

Contoh-contoh diatas adalah bentuk dari cara sebuah partai untuk mengatasnamakan rakyat untuk meraih kemenangan golongannya masing-masing. Apa yang terjadi jika partai begitu banyak, demokrasi disalahartikan, dan semua berebut kekuasaan? Yang lahir nanti adalah seorang politikus sejati. Memang tidak salah menjadi seorang politikus, bahkan politisi pun juga banyak berjasa bagi bangsa. Jika dilihat dari definisinya seorang politikus (politisi) adalah seorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Sedangkan definisi dari Politik itu sendiri adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.

Bisa dilihat dari definisinya bahwa seorang politikus nantinya tetap saja mengurusi masalah politik di partainya masing-masing sambil menjalankan kursi pemerintahan yang dibagi-bagi sesuai porsinya masing-masing. Padahal seharusnya yang benar adalah mengurus pemerintahan dengan focus yang sempurna sambil sesekali mengurus partai politiknya, atau bahkan jika ingin dicapai pemerintahan yang professional harusnya seorang pemimpin ketika sudah terpilih dapat melepaskan baju partainya sama sekali sehingga dapat fokus menjalankan pemerintahan yang ada. Kemudian untuk menjadi bangsa yang maju tentu saja kita harus memiliki pemerintahan yang diisi orang-orang yang professional. Maka sudah tidak jamannya bahwa kursi pemerintahan dibagi-bagi seperti kue kepada partai-partai koalisi dari seorang presiden yang nanti menang. Yang benar adalah benar-benar memilih menteri dan para stafnya dari kalangan professional sesuai bidangnya masing-masing. Meskipun tidak tertutup kemungkinan para professional yang ada termasuk dalam partai-partai yang ada. Yang penting adalah jangan sampai menetapkan kursi pemerintahan berdasarkan partai tapi berdasarkan profesionalisme dan kompetensi sumber daya yang bersangkutan.

Apa solusi dari masalah diatas? Tentunya harus lahir seorang negarawan yang dapat memimpin bangsa ini. Tidak masalah jika negarawan tersebut berangkat dari seorang politikus bahkan seniman atau apapun dia. Yang paling penting dari seorang negarawan adalah dia mencintai negaranya lebih dari apapun bahkan partainya sendiri. Dengan begitu pemerintah yang akan tercipta nantinya benar-benar bekerja untuk rakyat bukan untuk partainya masing-masing. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hamper semua calon pemimpin kita adalah politikus sejati dan elit partai masing-masing. Hal itu tidak akan menjadi masalah jika nantinya setelah terpilih beliau yang memegang tampuk kepemimpinan tersebut dapat melepaska “baju” partainya untuk berubah memakai “baju” seorang negarawan. Tidak cukup sampai disitu, bahwa sang pemimpin nanti jangan sampai hanya memakai “baju” dengan label negarawan tapi juga memiliki “hati” negarawan.

Untuk mencapai hal ini mungkin akan baik jika presiden yang sebelumnya sudah berkuasa tidak mencalonkan kembali dirinya di pemilihan presiden yang akan datang. Logika yang dapat mendukung usulan diatas adalh karena kita memiliki berlimbah sumber daya manusia, ada lebih dari 20 juta rakyat Indonesia yang diantaranya terdapat beribu pemuda yang potensial dan memiliki kompetensi yang bahkan lebih tinggi dari presiden yang sekarang ada. Maka kenapa mesti itu-itu saja presiden atau calon presidennya. Karena jika presiden yang sedang memimpin mencalonkan kembali dirinya yang akan terjadi adalah sebuah penjelasan di atas, dimana pemerintah sibuk menebar pesona dan sang presiden sibuk berkampanye lewat iklan bukannya fokus menjalankan pemerintahan.

Bahkan timbul masalah antara presiden dan wakilnya sendiri yang disebabkan oleh keduanya memiliki peran sentral di partai masing-masing dan keduanya masih ingin mencalonkan lagi entah menjadi presiden atau wakil presiden. Hal itu tentu sangat memprihatinkan mengingat amanat yang diberikan kepada mereka adalah 5 tahun bukan 4 tahun atau 4,5 tahun dan sisanya digunakan untuk berkampanye. Hal itu tentu akan berbeda jika dipimpin oleh seorang negarawan yang jelas-jelas akan memprioritaskan kepentingan Negara diatas kepentingan apapun. Maka, dicari seorang negarawan!

Senin, 09 Februari 2009

Sisi Positif dan Negatif Pemuda dalam Memimpin Bangsa

Oleh : Irfan Karunia Osa

Pemuda merupakan tonggak penggerak utama dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia. Pemuda memiliki peran sentral dalam perjuangan membangun bangsa, baik perjuangan fisik maupun diplomasi dengan intelektualitas dan organisasi sosial politik yang dimilikinya. Tanpa adanya pergerakan dan perjuangan dari pemuda, saat ini mungkin bangsa kita belum merdeka. Tentu saja pernyataan tersebut sama sekali tidak bermaksud mengecilkan peran dari para pejuang kemerdekaan lainnya yang pada saat itu sudah tidak termasuk dalam golongan “muda”. Banyak peristiwa yang menegaskan bahwa pemuda memiliki peran sentral dalam membangun bangsa.

Misalnya saja sebelum tanggal 17 Agustus 1945 dimana Sang Proklamator mengumumkan pernyataan “merdeka” ke seluruh dunia. Pada waktu itu para pemuda lah yang sebenarnya mendorong proklamasi diproklamirkan secepatnya. Saat itu wacana bahwa akan diproklamirkannya kemerdekaan memang sudah terdengar. Namun saat itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI. Para pemuda yang memiliki idealisme tinggi dan semangat kemerdekaan yang besar tidak menyetujui hal tersebut karena PPKI dinilai sebagai organisasi buatan Jepang. Karena hal tersebut pada tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta “diculik” ke Rengasdengklok oleh para pemuda. Di tempat tersebut para pemuda bernegosiasi dengan Soekarno dan Hatta. Para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta agar mempercepat kemerdekaan. Akhirnya dengan diplomasi dan semangat juang yang tinggi para pemuda berhasil meyakinkan Sang Proklamator agar mempercepat kemerdekaan. Hanya sehari setelah peristiwa itu tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia diproklamirkan sebagai negara yang merdeka oleh Soekarno dan Hatta. Dari peristiwa di atas dapat dilihat bahwa peran pemuda cukup sentral dalam perkembangan bangsa. Mungkin jika para pemuda tidak bertindak dengan cepat, Indonesia tidak akan merdeka seperti saat sekarang ini. Keberanian “menculik” Soekarno dan Hatta, inisiatif mendesak golongan “tua” untuk segera memerdekakan diri dan masih banyak contoh lain merupakan bukti nyata dari idealisme dan semangat juang yang tinggi dari para pemuda.

Jika waktu ditarik lebih ke belakang lagi, ada contoh lain yang membuktikan bahwa peran pemuda cukup besar dalam sejarah perkembangan bangsa yaitu peristiwa sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada peristiwa tersebut dapat dilihat bahwa para pemuda tidak hanya memiliki idealisme dan semangat juang yang tinggi namun juga memiliki inisiatif, intelektualitas dan pemikiran yang kritis tentang bagaimana memajukan bangsa yang dalam hal ini merupakan upaya dalam mempersatukan bangsa. Pada peristiwa tersebut para pemuda merumuskan dan mengikrarkan sebuah sumpah yang mampu menyatukan nusantara. Mungkin apabila saat itu para pemuda tidak mengikrarkan sumpah pemuda, bangsa kita saat ini belum menjadi satu bangsa dan mungkin saja kita belum memiliki satu bahasa yang dapat menjadi pemersatu bangsa ini. Sekali lagi, dari peristiwa tersebut terlihat peran pemuda yang begitu sentral dalam perjuangan membangun bangsa, baik perjuangan secara fisik maupun diplomasi.

Seolah tidak pernah lenyap ditelan waktu, dari zaman ke zaman tumbuh pemuda-pemuda lain yang menggantikan peran dari para pemuda yang sudah “hijrah” menjadi kalangan yang “tidak muda lagi”. Tanpa disadari semangat-semangat perjuangan untuk memajukan bangsa selalu berhembus walaupun pemuda bangsa ini terus berganti. Dengan idealisme yang tinggi para pemuda selalu berusaha agar bangsa ini lebih maju lagi. Dengan kelebihannya para pemuda selalu berusaha memimpin bangsa ini khususnya memimpin rakyat untuk membuat bangsa ini naik ke tingkat yang lebih tinggi. Proses “penularan semangat dan peran” dari generasi ke generasi tersebut dapat berjalan karena adanya organisasi ataupun kelembagaan pemuda yang terus melakukan regenerasi. Tentunya organisasi dan kelembagaan tersebut dibangun dengan visi dan misi yang intinya sama yaitu membangun bangsa kea rah yang lebih baik.

Bukti bahwa regenerasi “semangat’ dan “peran” berlangsung dengan baik dan berjalan dengan sendirinya adalah peristiwa reformasi yang dilakukan oleh pemuda khususnya mahasiswa di tahun 1998. Jauh sebelum peristiwa tersebut hampir tidak ada peristiwa besar yang dilakukan oleh para pemuda. Jadi, walaupun cukup lama peran pemuda agak sedikit “tenggelam” saat “rezim Soeharto” tetapi tetap saja semangat dan peran dari para pemuda sebelumnya dapat tertularkan pada pemuda saat itu. Semangat pemuda yang turun temurun tersebut itulah yang merupakan salah satu faktor terjadinya peristiwa “reformasi Mei 1998”. Tentu saja masih banyak faktor lain yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi, salah satunya adalah karena pada saat itu Indonesia mengalami krisis multi dimensi yang membuat pemuda dalam hal ini mahasiswa tidak dapat tinggal diam dan menggulingkan Soeharto dari kursi kekuasaan. Pada saat itu para pemuda yang mengatasnamakan reformasi menduduki gedung DPR dan meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Hal itu disebabkan oleh tidak tahannya lagi pemuda dan seluruh rakyat Indonesia terhadap rezim Soeharto. Ketidaksukaan terhadap rezim Soeharto muncul karena banyak kebebasan dalam aktivitas bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara yang dikekang oleh pemerintah. Walaupun pada rezim Soeharto Indonesia memiliki stabilitas politik, namun stabilitas tersebut terjadi karena adanya paksaan yang tidak sehat untuk kemajuan bangsa. Dengan banyak alasan yang lain pula akhirnya para pemuda berhasil membuat Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998.

Setelah peristiwa tersebut eksistensi pemuda kembali terlhat dalam memimpin bangsa. Hal tersebut semakin mempertegas julukan yang sejak dulu diberikan kepada para pemuda yaitu sebagai agent of change. Julukan tersebut sangat pantas diberikan kepada para pemuda karena selama ini dalam sejarah perkembangan bangsa, para pemuda memiliki peran sebagai agen perubahan dari keadaan bangsa yang darurat, kritis, dan krisis menjadi keadaan yang tentunya lebih baik dari sebelumnya. Hal-hal yang disebutkan di atas merupakan sisi positif dari peran pemuda yang selama ini berusaha menjadi pemimpin bangsa dalam menyikapi hal-hal yang dirasakan kurang baik atau harus segera disikapi oleh pemuda. Namun dalam kehidupan ini segala sesuatunya memiliki sisi positif dan negatif. Begitu juga dengan eksistensi pemuda di Indonesia selain memiliki sisi atau dampak positif kita juga harus melihat lebih dalam bahwa keberadaan atau eksistensi pemuda Indonesia khususnya saat ini juga memiliki sisi atau dampak negatif.

Sebenarnya semangat menggebu-gebu dari pemuda yang selama ini merupakan kelebihan dan merupakan sisi positif dari pemuda juga dapat menjadi pengaruh atau dampak yang negatif jika tidak dapat dikontrol dan justru dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu sifat pemuda yang kadang-kadang menginginkan hasil yang cepat dari sebuah proses juga menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Dengan sifat tersebut bisa saja pemuda menjadi lepas kendali atau gegabah dalam beraksi. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghasilkan perubahan bukan ke arah yang lebih baik tetapi justru menghasilkan perubahan yang tidak jelas arahnya ataupun perubahan yang tak kunjung selesai.

Contoh sisi atau dampak negatif dari eksistensi pemuda Indonesia adalah peristiwa yang sebelumnya sudah disampaikan di atas, yaitu peristiwa “reformasi 1998”. Pada peristiwa tersebut memang dihasilkan sesuatu yang positif yaitu penggulingan rezim yang berkuasa selama 32 tahun dimana rezim tersebut mengekang kebebasan masyarakat dan berlaku tidak adil saat berkuasa. Peristiwa yang mengatasnamakan reformasi tersebut jika dilihat dari sudut pandang lain juga memiliki sisi atau dampak negatif. Misalnya saja ketika mahasiswa “berperang melawan polisi”, kemudian ketika pemuda berhasil “menduduki” gedung DPR dan kejadian lainnya. Hal itu secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kerusuhan, penjarahan dan kerusakan dimana-mana. Efek itulah yang kurang dipikirkan oleh pemuda sebelum menjalankan aksinya. Karena terburu-buru dan bernafsu untuk menggulingkan pemerintahan, saat itu para pemuda kurang memikirkan efek negatif yang akan terjadi. Sebagai kaum muda yang memiliki intelektualitas tentu mengetahui bahwa untuk melakukan sebuah reformasi juga dapat dilakukan dengan cara yang lebih tertib dan tidak provokativ seperti saat itu. Akibat aksi yang kurang diperhitungkan tersebut banyak bangunan hancur, motor dan mobil dirusak serta dicuri, dan banyak toko yang dijarah dimana-mana.

Selain itu efek negatif yang terjadi pada tahun 1998 memunculkan opini bahwa sebenarnya mahasiswa atau pemuda ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak bertanggung jawab dalam menjalankan aksinya. Hal tersebut mencuat karena sifat mahasiswa yang menggebu-gebu, aspiratif dan menginginkan hasil yang instant membuat pemuda atau mahasiswa mudah dijadikan alat oleh pihak-pihak yang yang tidak bertanggung jawab untuk memuluskan jalan atau niat golongan tertentu. Namun, yang menyulitkan adalah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut dapat membuat pemuda tidak sadar bahwa mereka telah dijadikan alat oleh golongan tersebut. Hal itu terjadi karena setiap “menggunakan” pemuda sebagai alat, para pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut mengatasnamakan sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan alibi untuk memuluskan kepentingannya.

Misalnya saja pada tahun 1998, waktu itu terjadi aksi besar-besaran dari para pemuda yang mengatasnamakan reformasi. Ratusan bahkan ribuan pemuda ikut dalam aksi tersebut. Masyarakat yang lain pun banyak yang terpengaruh dan ikut dalam aksi tersebut hingga menimbulkan kerusuhan yang memporak-porandakan Indonesia. Sesuatu yang tentunya tidak akan dilakukan oleh pemuda yang dikenal memiliki idealisme dan sangat mencintai negerinya. Kerusuhan terjadi karena aksi para pemuda tidak terkontrol dan banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang pada saat itu juga ingin menggulingkan pemerintahan yang tentunya mengatasnamakan reformasi. Selain itu, pemuda saat itu yang mengembor-gemborkan semangat reformasi sebenarnya tidak terlalu mengerti langkah-langkah apa yang harus mereka lakukan setelah reformasi itu terjadi. Buktinya, sampai sepuluh tahun setelah reformasi, bangsa ini bukannya bertambah baik tetapi justru bertambah buruk jika dibandingkan dengan zaman Soeharto. Pemuda yang dulu mengawali reformasi, sekarang ini pun tidak tahu apa yang harus dilakukan dan yang lebih parah lagi ada pemuda yang dulu sangat bangga dengan idealismenya, begitu bergabung dengan kalangan eksekutif ataupun legislatif berubah sifat menjadi seperti pemerintah atau anggota dewan yang dulu dikritiknya. Bila sudah begini tidak ada yang mau bertanggung jawab dengan proses reformasi tersebut. Reformasi yang dimulai dengan sangat berapi-api, menghabiskan banyak sumber daya dan menghasilkan banyak kerugian sampai saat ini belum ada yang mengakhiri. Mengakhiri disini berarti berhasil menjadikan reformasi tersebut sebagai alat untuk membuat Indonesia lebih baik dari segala sisi. Bukan seperti sekarang ini dimana reformasi telah melahirkan demokrasi yang kebablasan. Partai begitu menjamur dan kebebasan yang diberikan sering disalahgunakan sehingga Indonesia bukannya semakin menyatu tetapi justru diantara sesama anak bangsa saling sikut-menyikut untuk berebut kekuasaan.

Kasus di atas adalah bukti bahwa pemuda dalam aksi yang mereka lakukan tidak dengan jelas dan paham betul mengetahui apa yang mereka suarakan. Hal itu terjadi karena saat ini kebanyakan dari mereka ditunggangi atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab dalam rangka memuluskan kepentingan golongan tertentu. Hal itulah yang harus dievaluasi dan dihilangkan dalam pergerakan pemuda kedepannya. Pergerakan atau aksi dari pemuda harus bebas dari intervensi pihak manapun karena jika sudah dintervensi maka idealisme yang disandang para pemuda dengan sendirinya akan luntur. Jika sudah begitu peran pemuda yang sebelumnya sebagai agent of change tidak akan berfungsi dengan baik. Hal itulah yang dikhawatirkan akan terjadi kedepannya, pemuda yang merupakan kekuatan terbesar bangsa tidak lagi murni dengan pergerakannya tetapi sudah dimanfaatkan oleh pihak lain dengan banyak kepentingan yang dapat merusak masa depan bangsa. Pemuda adalah aset terpenting bangsa, oleh karena itu pemuda haruslah dibina dengan baik dan dijaga kenetralitasannya.

Di zaman seperti sekarang ini pemuda haruslah menjadi pemimpin bangsa yang dalam bertindak harus mengerti dan paham betul apa yang dilakukannya. Selain itu langkah selanjutnya atau tindak lanjut dari aksi yang dilakukannya juga harus dirumuskan dan dipikirkan terlebih dahulu. Jangan sampai menggebu-gebu dalam aksinya namun tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dengan begitu pemuda yang memiliki intelektualitas tinggi, semangat yang berapi-api, idealisme yang tinggi serta berbagai kelebihan lain yang dimilikinya dapat menjadi pemersatu bangsa dan memimpin bangsa ini agar menjadi bangsa yang lebih maju dan dapat menyejahterakan seluruh rakyatnya.
Hidup Pemuda...!!!Hidup Mahasiswa...!!!Jaya Indonesia...!!!

Minggu, 08 Februari 2009

MEMBANGKITKAN SLOGAN CINTA LINGKUNGAN UNTUK MEMBUDAYAKAN HIDUP BERSIH DAN SEHAT

Oleh : Irfan Karunia Osa

Sekitar tahun 1990-an di Indonesia banyak sekali terdapat slogan cinta lingkungan hidup, misalnya yang paling populer dan umum adalah “Buanglah sampah pada tempatnya”. Slogan tersebut sangat dipahami oleh semua kalangan, dari anak kecil, mahasiswa sampai ibu rumah tangga. Dahulu di sekolah-sekolah dan tempat-tempat lainnya slogan seperti di atas ataupun slogan lain yang sejenis selalu dipublikasikan kepada semua kalangan sehingga diharapkan hal tersebut dapat menggugah atau mengajak masyarakat untuk cinta lingkungan. Di periode tersebut harapan-harapan yang timbul dari adanya slogan tersebut dapat tercapai. Hampir seluruh kalangan memahami slogan-slogan yang ada dan tentu saja dapat mengaplikasikannya, sehingga dulu Indonesia mempunyai lingkungan yang cukup bersih. Namun sekarang, dengan seiring berjalannya waktu kesadaran tersebut mulai terdegradasi. Masyarakat mulai mengindahkan slogan-slogan yang ada. Mereka hanya menganggap slogan yang ada sebagai sebuah tulisan belaka, bukannya sebuah himbauan atau ajakan untuk hidup bersih dan sehat. Walaupun semakin banyak slogan yang tercipta atau tercetuskan namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan kesadaran yang tercipta di masyarakat akan cinta lingkungan. Degradasi kesadaran cinta lingkungan tersebut dipengaruhi oleh lunturnya nilai budaya dan moral masyarakat dewasa ini.

Masalah diatas perlu mendapat perhatian yang baik agar dapat kembali tercipta budaya hidup sehat dan bersih dengan cara-cara penyampaian slogan yang lebih baik. Masyarakat yang bijak tentunya harus memiliki solusi untuk masalah tersebut. Ada dua solusi yang terkait dengan inovasi yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan memperbaharui media-media penyampaian slogan tersebut, misalnya dengan memuat slogan di kaos, pin, buku dan lain-lain. Hal ini juga harus diikuti dengan desain yang menarik, unik dan sesuai dengan trend yang ada, sehingga minimal akan menggugah orang lain untuk membaca slogan tersebut. Hal ini dilakukan juga untuk menggugah kalangan muda yang menyukai sesuatu yang baru dan unik, karena sumber daya penggerak terbesar dan terefektif untuk mewujudkan budaya hidup sehat dan bersih adalah kalangan muda. Selain itu, kalangan muda juga merupakan kalangan yang paling kurang sadar lingkungan karena pengaruh pergaulan dan sebagainya, sehingga harus diarahkan untuk hal yang lebih baik.

Kedua, adalah dengan membuat program “Satu orang, Satu Slogan, Untuk lingkungan”. Maksud dari program ini adalah setiap orang wajib memiliki satu slogan dan bebas untuk memilih slogan “miliknya” tersebut dan slogan tersebut harus selalu dipegang teguh dan tentu saja wajib diaplikasikan kehidupan sehari-harinya. Dengan gerakan tersebut diharapkan setiap orang memiliki sebuah slogan “andalan” dalam hidupnya dan apabila semua orang melakukannya akan tercipta budaya hidup sehat dan bersih.

Kemudian dapat disimpulkan bahwa degradasi kesadaran lingkungan dewasa ini salah satunya adalah akibat dari semakin diindahkannya slogan-slogan cinta lingkungan yang telah ada selama ini. Maka, sosialisasi dan pemahaman slogan cinta lingkungan yang ada rasanya perlu kembali digalakkan.

"...Sebagai masyarakat bijak, budaya hidup sehat adalah syarat mutlak..."