Oleh : Irfan Karunia Osa, WAKIL KETUA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Demokrasi adalah suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau kekuasaan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah. Kata-kata yang paling penting dalam definisi demokrasi diatas adalah adanya kedaulatan rakyat atau kekuasaan rakyat. Namun, saat ini kata-kata tersebut rupanya sudah tidak lagi menjadi hal yang paling penting bagi demokrasi. Kata Demokrasi oleh banyak orang diaplikasikan dalam bentuk kebebasan untuk berebut kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat. Jadi, saat ini rakyat hanya slogan untuk mendompleng suara bukan lagi menjadi prioritas utama untuk didengar suaranya.
Hal tersebut terjadi dalam situasi akhir-akhir ini. Banyak sekali partai yang muncul ke permukaan. Banyak partai yang mengaku dapat mengakomodir kepentingan rakyat. Ada partai yang mengklaim berhasil menurunkan harga minyak, ada partai yang mengklaim bahwa ekspor beras yang belum pasti akan terlaksana (karena siapa yang tahu bahwa nanti akan ada bencana yang besar sehingga sawah-sawah kita rusak dan pasokan beras menjadi kurang), ada yang bangga dengan sumbangan yang telah disalurkannya ke Palestina, ada juga yang yakin bahwa jika partai tersebut menang harga sembako akan turun (padahal waktu pemerintahan dipegang oleh partai tersebut harga sembako juga turun naik), dan masih banyak lagi contoh yang bias diambil namun saking banyaknya partai tidak semuanya dapat ditulis disini.
Contoh-contoh diatas adalah bentuk dari cara sebuah partai untuk mengatasnamakan rakyat untuk meraih kemenangan golongannya masing-masing. Apa yang terjadi jika partai begitu banyak, demokrasi disalahartikan, dan semua berebut kekuasaan? Yang lahir nanti adalah seorang politikus sejati. Memang tidak salah menjadi seorang politikus, bahkan politisi pun juga banyak berjasa bagi bangsa. Jika dilihat dari definisinya seorang politikus (politisi) adalah seorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Sedangkan definisi dari Politik itu sendiri adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara.
Bisa dilihat dari definisinya bahwa seorang politikus nantinya tetap saja mengurusi masalah politik di partainya masing-masing sambil menjalankan kursi pemerintahan yang dibagi-bagi sesuai porsinya masing-masing. Padahal seharusnya yang benar adalah mengurus pemerintahan dengan focus yang sempurna sambil sesekali mengurus partai politiknya, atau bahkan jika ingin dicapai pemerintahan yang professional harusnya seorang pemimpin ketika sudah terpilih dapat melepaskan baju partainya sama sekali sehingga dapat fokus menjalankan pemerintahan yang ada. Kemudian untuk menjadi bangsa yang maju tentu saja kita harus memiliki pemerintahan yang diisi orang-orang yang professional. Maka sudah tidak jamannya bahwa kursi pemerintahan dibagi-bagi seperti kue kepada partai-partai koalisi dari seorang presiden yang nanti menang. Yang benar adalah benar-benar memilih menteri dan para stafnya dari kalangan professional sesuai bidangnya masing-masing. Meskipun tidak tertutup kemungkinan para professional yang ada termasuk dalam partai-partai yang ada. Yang penting adalah jangan sampai menetapkan kursi pemerintahan berdasarkan partai tapi berdasarkan profesionalisme dan kompetensi sumber daya yang bersangkutan.
Apa solusi dari masalah diatas? Tentunya harus lahir seorang negarawan yang dapat memimpin bangsa ini. Tidak masalah jika negarawan tersebut berangkat dari seorang politikus bahkan seniman atau apapun dia. Yang paling penting dari seorang negarawan adalah dia mencintai negaranya lebih dari apapun bahkan partainya sendiri. Dengan begitu pemerintah yang akan tercipta nantinya benar-benar bekerja untuk rakyat bukan untuk partainya masing-masing. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hamper semua calon pemimpin kita adalah politikus sejati dan elit partai masing-masing. Hal itu tidak akan menjadi masalah jika nantinya setelah terpilih beliau yang memegang tampuk kepemimpinan tersebut dapat melepaska “baju” partainya untuk berubah memakai “baju” seorang negarawan. Tidak cukup sampai disitu, bahwa sang pemimpin nanti jangan sampai hanya memakai “baju” dengan label negarawan tapi juga memiliki “hati” negarawan.
Untuk mencapai hal ini mungkin akan baik jika presiden yang sebelumnya sudah berkuasa tidak mencalonkan kembali dirinya di pemilihan presiden yang akan datang. Logika yang dapat mendukung usulan diatas adalh karena kita memiliki berlimbah sumber daya manusia, ada lebih dari 20 juta rakyat Indonesia yang diantaranya terdapat beribu pemuda yang potensial dan memiliki kompetensi yang bahkan lebih tinggi dari presiden yang sekarang ada. Maka kenapa mesti itu-itu saja presiden atau calon presidennya. Karena jika presiden yang sedang memimpin mencalonkan kembali dirinya yang akan terjadi adalah sebuah penjelasan di atas, dimana pemerintah sibuk menebar pesona dan sang presiden sibuk berkampanye lewat iklan bukannya fokus menjalankan pemerintahan.
Bahkan timbul masalah antara presiden dan wakilnya sendiri yang disebabkan oleh keduanya memiliki peran sentral di partai masing-masing dan keduanya masih ingin mencalonkan lagi entah menjadi presiden atau wakil presiden. Hal itu tentu sangat memprihatinkan mengingat amanat yang diberikan kepada mereka adalah 5 tahun bukan 4 tahun atau 4,5 tahun dan sisanya digunakan untuk berkampanye. Hal itu tentu akan berbeda jika dipimpin oleh seorang negarawan yang jelas-jelas akan memprioritaskan kepentingan Negara diatas kepentingan apapun. Maka, dicari seorang negarawan!