Cari Blog Ini

Kamis, 26 Maret 2009

Proteksi yang mengatasnamakan Nasionalisme

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB

Wakil Ketua BEM FEM IPB

Dalam menyikapi krisis perekonomian global yang terjadi dewasa ini, setiap langkah kebijakan ekonomi dari pemerintah Negara maju ataupun berkembang selalu menjadi sorotan dunia. Belakangan, yang lumayan populer adalah kebijakan proteksionisme yang dilakukan baik oleh Negara maju ataupun Negara berkembang. Misalnya Amerika Serikat yang secara terang-terangan menyerukan “Buy American” yang merupakan bentuk proteksi Amerika terhadap produk-produk dalam negeri Negara tersebut.

Tentu saja kebijakan negara maju seperti Amerika akan mengundang perlawanan dari negara lain seperti dari negara-negara berkembang. Hal itulah sebenarnya yang harus dihindari. Apabila semua negara saling balas membalas dalam melakukan kebijakan proteksi maka krisis global pun lambat laun dapat berubah menjadi krisis multi dimensi.

Artinya setiap negara sebenarnya harus menghindari proteksi untuk memperlancar kembali arus perdagangan dunia. Namun, Indonesia sebagai negara berkembang pun tidak dapat hanya tinggal diam menyikapai proteksionisme yang dilakukan oleh negara-negara lain. Indonesia harus melakukan kebijakan penyeimbang dalam menyikapi proteksionisme negara lain.

Proteksi yang dilakukan pun sebaiknya adalah proteksi yang bersifat halus. Maka itu, pemerintah pun mengeluarkan inpres tentang adanya kewajiban bagi PNS untuk mengenakan sepatu produksi dalam negeri dan produk dalam negeri lainnya. Proteksi tersebut pun agar terlihat lebih halus kembali dibalut dengan adanya gerakan ”Aku Cinta Produk Indonesia” yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan “Buy American”ala Obama.

Proteksi yang mengatasnamakan nasionalisme tersebut adalah hal yang sangat tepat dilakukan pemerintah bahkan seharusnya dilakukan sejak dulu. Dengan hal tersebut produk dalam negeri akan dapat berkembang dengan baik. Namun, kedepannya gerakan semacam ”Aku Cinta Produk Indonesia” sebaiknya tidak hanya dilakukan sebatas kewajiban bagi PNS namun dapat menjadi kesadaran bagi seluruh elemen masyarakat untuk dapat mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Dengan begitu akan terjadi trickle down effect yang positif bagi perekonomian Indonesia khususnya UKM.

Moralitas yang Rendah Cermin Budaya Kekerasan

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi

Institut Pertanian Bogor

Beberapa saat terakhir banyak bermunculan di media massa, berita-berita tentang kekerasan yang mendera masyarakat bangsa ini. Mulai dari berita tentang kerusuhan yang menyebabkan kematian seorang ketua DPRD, kekerasan dalam dunia pendidikan, kekerasan dalam dunia militer, bahkan hingga kekerasan yang dilakukan oleh artis sinetron. Berita-berita tersebut tentunya menjadi sangat fenomenal karena terjadi dalam waktu yang beriringan. Proses kejadian kekerasan yang terus muncul beriringan tersebut menyiratkan bahwa seakan-akan kekerasan saat ini sudah menjadi budaya yang lazim untuk menyikapi atau menyelesaikan suatu permasalahan.

Tentunya sangat mengkhawatirkan jika pernyataan di atas menjadi kenyataan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang bodoh apabila menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar, terlebih lagi apabila kekerasan tersebut sudah membudaya dan mengakar di masyarakat. Maka itu harus dicarikan solusi yang tepat untuk menangani masalah kekerasan tersebut. Ada pepatah yang menyebutkan bahwa “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Hal ini pun berlaku bagi kasus kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, dimana langkah yang paling tepat adalah mencegah terjadinya kekerasan tersebut selain menghukum pelakunya dengan hukuman yang setimpal agar menjadi pelajaran positif bagi masyarakat.

Untuk mencegahnya, kita perlu merunut masalah kekerasan ini satu persatu ke belakang untuk mengetahui penyebab mengapa kekerasan akhir-akhir ini sangat marak terjadi di masyarakat. Contoh kasus yang akan kita ambil adalah kasus kerusuhan yang menyebabkan kematian ketua DPRD di Sumatera Utara. Pada dasarnya kekerasan tergolong ke dalam dua bentuk yaitu kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak. Kasus kerusuhan di Sumatera Utara ini termasuk yang kekerasan yang terkoordinir. Indikasi ini tentunya sangat mengkhawatirkan, dimana kekerasan terjadi dengan sebuah perencanaan yang sangat matang. Hal ini menyiratkan bahwa kekerasan merupakan hal yang dibenarkan oleh pelakunya, karena merupakan sesuatu yang direncanakan.

Penyebab utama dari kasus tersebut dan kasus lainnya adalah semakin rendahnya moralitas masyarakat dan ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola Emotional Spiritual Question dalam diri mereka. Akibatnya, masyarakat akan semakin mudah menggunakan kekerasan atau menghalalkan segala cara untuk penyelesaian masalah mereka tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Kemudian, penyebab dari rendahnya moralitas masyarakat tersebut adalah dunia pendidikan yang saat ini tidak menitikberatkan moralitas sebagai poin utama pendidikan. Sebenarnya ini adalah “dosa pendidikan Indonesia”, dimana pelajar hanya dididik untuk mengejar nilai seratus untuk matematika, IPA, IPS dan lain-lain sehingga yang terjadi adalah kasus perkelahian para siswa yang terjadi dimana-mana. Solusi umum yang harus dihadirkan dari penyebab di atas adalah peningkatan moralitas masyarakat sejak dini dalam lingkungan kemasyarakatan mauppun dunia pendidikan, sehingga dalam bertindak masyarakat dapat berpikir dengan jernih apa yang harus dilakukan untuk menyikapi suatu masalah dan jauh dari budaya kekerasan.


Kontrak Politik agar Tidak Hanya Janji

Oleh : Irfan Karunia Osa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB, Wakil Ketua Bem FEM IPB

Beberapa minggu kedepan jalan-jalan di berbagai penjuru nusantara akan ramai dengan konvoi serta berbagai jenis kampanye partai politik peserta pemilu 2009. Bendera dan baliho yang sebelumnya sudah cukup ramai menghiasi jalan-jalan dipastikan akan bertambah dengan subur. Berbagai janji manis tentunya menghiasi jalannya kampanye para calon wakil rakyat.

Yang perlu diperhatikan adalah cara-cara merayu dengan janji surga tanpa bukti tersebut selalu berhasil di setiap pemilu. Masyarakat seharusnya sadar bahwa apa yang dijanjikan para calon wakil rakyat pada pemilu terdahulu banyak yang belum tercapai hingga kini atau bahkan hanya menjadi omong kosong belaka. Tentunya akan lebih parah jika masyarakat tetap memilih calon wakil rakyat yang hanya mengulangi omong kosongnya. Kita tidak bisa membiarkan bangsa ini diwakili oleh orang-orang yang hanya pandai mengumbar janji. Kebodohan sewaktu kita memilih wakil rakyat yang hanya mengumbar janji tersebut tidak boleh terjadi di tahun ini.

Ironis memang jika kita melihat fakta bahwa selama empat setengah tahun kebelakang begitu sulitnya rakyat menemui anggota dewan hanya untuk sekedar menagih janjinya ketika kampanye pada pemilu terdahulu. Pertanyaannya adalah mengapa janji manis para calon wakil rakyat tersebut pada akhirnya tidak dapat ditagih oleh rakyat setelah mereka duduk di kursi “empuk” anggota dewan. Jawabannya adalah karena tidak adanya kontrak politik yang jelas antara wakil rakyat dan rakyat itu sendiri.

Kontrak politik perlu dibuat untuk mengikat janji para caleg agar nantinya dapat ditagih sewaktu-waktu oleh rakyat ketika sudah duduk di kursi dewan. Hal itu diperlukan karena selama ini para wakil rakyat yang sudah terpilih tidak lagi mempunyai ikatan untuk memenuhi janjinya kepada masyarakat. Sehingga, masyarakat pun juga tidak mempunyai kekuatan untuk menuntut janji para wakil rakyat yang telah mereka pilih tersebut.

Mahasiswa sebagai agent of change yang mengatasnamakan rakyat dalam pergerakannya seharusnya bisa menginisiasi hal tersebut. Dalam pergerakannya, mahasiswa dengan idealismenya dapat mengajukan kontrak politik kepada calon wakil rakyat dengan poin-poin yang intinya bertujuan untuk membangun bangsa dan membuat rakyat lebih sejahtera. Hal tersebut wajib dilakukan untuk mencegah kampanye-kampanye yang membodohi rakyat. Dengan adanya kontrak politik, para anggota dewan yang terpilih akan terikat hanya bekerja untuk rakyat dan yang lebih hebat lagi rakyat dapat menuntut para anggota dewan terpilih jika janji waktu kampanye saat ini tidak terpenuhi. Dengan begitu masyarakat akan dapat memilih dengan tenang dan tidak akan takut dibodohi oleh para calon wakil rakyat.